Home blog tutorial free css navigation free template Obral Plus Belajar buat website


Jumat, 02 Mei 2008

From Beirut to Jerusalem

Nasib Muslimin Palestina
Judul Buku : From Beirut to Jerusalem
Penulis : dr Ang Swee Chai
Halaman : 656 halaman
Penerbit : Mizan Media Utama, cetakan II 2007

Bagi seorang dokter, menulis memori perjalanan yang dilakukan 6 tahun lalu di saat Israel menghancurkan Palestina memang tidaklah mudah. Namun dr Ang Swee Chai berusaha mengingat secara detil apa yang pernah dilihat, dilakukan dan didengar sendiri suara-suara bom saat jatuh di bumi Palestina.

Perjalanan dari Beirut ke Jerusalem bagi dr Ang Swee Chai, merupakan pengalaman yang tidak bernilai. Berkat dukungan teman-teman senasib seperjuangan, “Tears of Heaven” menjadi ‘hadiah’ tidak ternilai bagi masyarakat Palestina. Fakta sejarah yang ditulis oleh seorang dokter spesialis bedah.

Sinopsis :
Musim panas 1982 menjadi babak baru bagi dr Ang Swee Chai melihat langsung kebrutalan Israel terhadap penduduk muslim di Beirut. Kebrutalan Israel tidak hanya menghancurkan kapal Palang Merah Internasional tapi juga seluruh rumah sakit dan klinik.

Penyiksaan perang yang disulut tentara Israel, hanya menyisakan “Sindrom Awal Reagan ‘ yakni anak-anak yang masih shock akibat perang. Mereka tampak kurus dan ketakutan, bengong, menolak makanan dan minuman.

Sindrom Awal Reagan artinya satu atau dua tungkai yang buntung, sebuah luka besar di dada yang menyebabkan anak-anak itu kehilangan sebelah paru-paru mereka dan sebuah luka memanjang di perut yang menyebabkan hilangnya hati, limpa dan ginjal. Semua luka itu, disertai pula luka patah tulang terbuka yang mengalami infeksi. (halaman 92).

Memori dr Ang Swee yang tidak kalah serunya saat pagi hari 15 September 1982. Raungan suara pesawat yang melintas di atas, dari Laut Tengah menuju lokasi kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Rumah sakit Gaza dikepung tentara Israel yang hanya berjarak ¾ km dari rumah sakit.

Orang-orang sipil terlihat ketakutan dan mulai berlarian ke rumah sakit, korban mulai berdatangan. Yang pertama adalah seorang wanita yang tertembak di siku lengannya. Semua sendi yang menopang sikunya hilang sehingga tampak diantara robekan daging yang berlumuran darah (halaman 141).

Penderitaan yang dialami korban kebengisan Israel ini, membuat Ang Swee bersama rekan-rekannya membentuk Medical Aid for Palestinians (MAP). Tujuan utamanya adalah membantu bangsa Palestina yang terus berjuang melawan kekejaman yang berlangsung sampai saat ini.

Deskripsi :
Bagi dr Ang Swee Chai orang Palestina adalah teroris. Tapi kenyataannya justru yang menjadi teroris adalah Israel yang sebelumnya didukung baik karena latar belakang religinya.

Fakta yang ada di depan matanya, meluluhlantakkan kepercayaannya. Ia putuskan untuk membuktikan sendiri dengan menjadi sukarelawan medis di Beirut. Di sana, di kamp pengungsian Palestina, dr.Ang Swee menjadi saksi Pembantaian Sabra-Shatila, akhirnya ia menemukan jawaban. Ia berbalik memihak rakyat Palestina, memihak keadilan dan kemanusian.

Sosok dokter kelahiran Malaysia ini memang patut diteladani. Tidak hanya dalam menjalankan tugas kemanusiaan, tapi kepribadiannya dalam menilai setiap langkah yang ada di sekitarnya. Buku ini cocok dibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui bagaimana Israel menancapkan kekejamannya pada masyarakat muslim di Palestina.
Sumber : Buku from Beirut to Jerusalem, SSnet

Kebersamaan di Era Gombalisasi


Dunia sekarang telah memasuki fase baru dalam perjalan hidupnya, fase dimana setiap manusia memikul tanggung jawab akan hidupnya masing-masing. Namun, bukan itu yang menjadi titk permasalahannya. Yang menjadi permasalahan adalah masih relevankah wacana kebersamaan untuk kita pakai dalam kehidupan sedangkan kondisi persaingan lebih menitikberatkan pada kompetensi dan intelegensi yang mengarah pada semangat individualistik? Masih mungkinkah semangat komunal menjadi titik berangkat di tengah kondisi dunia yang tengah berubah?

Tentu pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan yang dapat secara langsung kita jawab, karena banyak aspek yang nantinya kita harus lihat. Semakin terasa di tengah arus globalisasi sekarang banyak anggapan tentang makna keberhasilan diukur melalui aspek ekonomi. Anggapan seperti ini lah yang kemudian semakin membuat manusia seperti kian termarjinalkan. Dan yang tak kalah berbahaya dari itu adalah ketika manusia mulai berpikir menang atau kalah, sehingga dapat menimbulkan paradigma bahwa bagi mereka yang mempunyai penguasaan intelektual, kelebihan fisik, dan penguasaan skill dapat mengalahkan orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi seperti ini. Akhirnya timbul wacana ‘semua lawan semua’. Ini yang berbahaya, kondisi ini kian mendekati paham dimana manusia yang tak mampu meyesuaikan diri di era ini seperti tidak dibutuhkan.

Sangat mriris memang ketika melihat fenomena ini dalam kehidupan. Seakan-akan pengertian manusia sebagai mahluk sosial mulai ditinggalkan. Apalagi bagi negara-negara berkembang seperti di Indonesia, pengaruh ini sangat menghambat terhadap pertumbuhan kebersamaan masyarakat Indonesia yang terkenal akan bhinneka tunggal ika-nya. Di sisi lain kita juga dihadapkan pada permasalahan sumber daya manusia di Indonesia yang secara umum berada di peringkat bawah. ketika kita melihat dari aspek pendidikan pun tak kalah mirisnya, pendidikan di Indonesia masih sangat kurang bila kita coba bandingkan dengan tetangga kita di Asia Tenggara.

Dengan SDM yang masih menyedihkan dan sistem pendidikan yang masih carut marut, apa yang mungkin bisa diperbuat oleh Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia? Globalisasi memang tak bisa dibendung, dan begitu pula dengan pasra bebas, tetapi kehidupan juga tak mungkin dibiarkan berjalan sendiri. Di sinilah pentingnya memupuk optimisme. Untuk sekedar menghibur diri, dalam pencapaian tingkat mata pelajaran metmatika dan IPA kita masih lebih baik ketimbang Qatar yang notabene Negara yang tingkat kesejahteraannya lebih baik dibanding Indonesia.

Tanpa menafikan kenyataan bahwa bangsa ini masih lemah dalam pencapaian sains dan teknologi, terlihat dalam kasus Qatar bahwa prestasi akademik tak selalu berkolerasi dengan kamakmuran suatu bangsa. Disinilah terlihat dimana kebersamaan dan rasa optimisme dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang sifatnya komunal maupun Individu. Kuncinya adalah keseriusan pemerintah dan warganya dalam berkeja sama (secara satu kesatuan) untuk kepentingan bersama bukan untuk kepentingan sesaat Dan terakhir, ada hal yang sering kita lupa bahwa konsep seperti ini telah terlihat keberhasilannya pada zaman kenabian rosul. Dimana kesejahteraan adalah milik bersama, milik setiap individu yang bernyawa. Kalau kita sudah sama-sama tau, lalu kenapa tidak kita mulai saja memupuk rasa kebersamaan (ukhuwah) dan rasa optimis itu?...
 
Template by : uniQue template  |  Modified by : Owner Blog